Kamis, 22 Desember 2011

Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake

MENANG TANPA MERENDAHKAN, barangkali adalah suatu hal yang sekarang sangat sulit dicari ditengah tengah akhlaq manusia yang kerdil kerdil yang ego nya jauh lebih penting untuk diperjuangkan daripada mempertahankan nilai nilai kebaikan (values) itu sendiri. Mereka lupa jati dirinya sebagai manusia adalah hanyalah makhluk lemah dengan segala kemampuan akal-fisik dan jiwa yang lemah dan terbatas
Bahkan penyakit ini juga menghinggapi para intelektual baik intelektual iptek ataupun intelektual agama sekalipun. Para ulama, kiyai, pemikir Islam dan aktivis dakwah banyak yang tidak mampu menahan diri untuk tidak merendahkan lawan berdebatnya dalam diskusi diskusi agama. Dalam perdebatan perdebatan sengit membahas soal soal agama itu, justru oleh mereka agama ditempatkan nomor dua setelah harga diri-nya.
Dan ketika dialog itu macet sebab masing masing punya argumen yang tidak bisa terbantahkan, maka mulailah masuk ke wilayah personal untuk merendahkan secara pribadi. Inventori kata kata kasar yang sering saya dapatkan dari mereka yang tidak sanggup menahan marahnya dalam berdiskusi antara lain adalah 1) bodoh 2) goblok 3) tolol 3) ustadz kampung 4)buta bahasa arab 5) tidak sehat akalnya 6) menggonggong 7) dungu 8) tidak waras 9) jahil 10) buta 11) tidak berilmu 12) TK/SD/Pramuka, dll … Masya Allah, akhlaq saya spontan langsung ikutan jadi rendah kalau nyemplung di diskusi2 di millist2 debat tersebut. Lidah yang basah karena dzikir menjadi kering karena umpatan dan sumpah serapah yang keluar.
Itu belum seberapa. Kadang demi mempertahankan kebenarannya (baca :egonya), tidak tanggung2 mereka melemparkan tuduhan2 palsu dan fitnah2 kepada lawannya sekaligus melakukan penyesatan informasi kepada awam yang tidak tahu duduk persoalannya hingga akhirnya si orang awam-pun terjebak pada diskusi2 panas dan sekaligus ikut2an merendahkan si lawan tertuduh tersebut. Lalu bila demikian, maka sebenarnya apa yang hendak diperjuangkan ? dan apa sebenarnya yang dikehendaki ?
Mengapa harus selalu berfikir menang – kalah ? tidak berfikir menang menang ? Dan andaikan kita “merasa menang“, lalu mengapa kita pelit dan tidak mau membagi sedikit kemenangan dan sedikit kebanggaan dengan pihak seberang agar meski kalah namun tidak menyimpan kebencian ? Bila demikian, maka bukan rasa hormat yang diberikan lawan, namun stempel kesombongan dan keangkuhan.
Pada kondisi ini, maka baiknya kita buka kamus hikmah yang telah tertata manis dalam perikehidupan masyarakat kita. Salah satunya adalah peribahasa jawa pada judul diatas yang sebenarnya banyak versinya. Diantaranya adalah
Nglurug tanpa bala Menang tanpa ngasorake Landhep tanpa anglarani.
Nyerbu tanpa kawan, Menang tanpa merendahkan, Tajam tanpa menyakiti
dan juga :
Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake
Kaya tanpa harta, Unggul tanpa senjata, Menyerbu tanpa Kawan, Menang tanpa Merendahkan
Peribahasa di atas mencakup beberapa akhlaq penting bagi individu Islam yaitu Syaja’ah dan Tawadhu — Berani dan Rendah Hati –. Sifat ini lawan dari sifat Pengecut dan Sombong. Contoh real-nya menang tanpa merendahkan adalah bagaimana Rasulullah SAW melakukan futuh makkah. Meski beliau dahulu dimusuhi dan bisa saja membuat perhitungan dengan orang orang Makkah yang tidak ada daya waktu itu, namun beliau tetap menghormati mereka sebagai sahabat, sanak saudara dan teman. Beliau menjunjung kemuliaan Abu Sufyan dan membuat orang Makkah berbondong bondong masuk Islam sebab hal itu.
Sama sama berilmu, orang mu’min sebenarnya adalah mereka yang berani menyampaikan pendapatnya dengan menahan marah serta santun dalam menyampaikan pendapatnya walau pendapatnya dianggap tidak umum dan walau tanpa ada pendukungnya. Dia tidak akan arogan dan kasar karena merasa telah unggul baik dari segi ide ataupun jumlah pendukung.
Ciri ulama akhirot sebagaimana yang saya pahami dari Minhajul Qosidhin adalah : Menyerahkan diri pada Allah SWT kebenaran yang dipegangnya, tidak maniak pada pendapatnya dan sabar terhadap celaan orang yang mencela. Sedangkan salah satu sisi, ciri ulama su’ (buruk) adalah selalu merasa pendapatnya paling benar dan tidak ridho sampai orang menganggap dirinya sebagai ulama yang paling pintar dan paling benar. Ulama akhirot akan berorientasi win-win solution kepada sesama mu’min dan bahkan terhadap orang kafir pun akan tetap lemah lembut dengah harapan agar orang kafir itu mau melihat keindahan dan kelembutan pribadi Islam.
Benar akanlah tetap tersimpan sebagai kebenaran di sisi Allah SWT tanpa perlu disampaikan dengan mengumpat dan menghujat. Cukuplah bagi kita bahwa Allah SWT telah tahu bahwa kita mengikuti kebenaran tersebut. Lha wong mau menyampaikan kebenaran kok malah melakukan cara2 yang tidak benar … Padahal kebenaran itu milik Allah SWT dan tugas kita hanya menyampaikan saja, tanpa perlu caci maki ..
 فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غبيظ القلب لانفضوا من حولك
Maka dengan rahmat Allah , engkau ( Muhammad saw ) berlaku lemah lembut terhadap mereka . Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar , tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu . (QS Aali Imran : 159)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman