Rudy membuat perahu miniatur, tempat tisu, tempat ponsel dan berbagai kerajinan lainnya. Menurutnya miniatur perahu yang dibuat dijual dengan harga Rp300.000, sedangkan tempat tisu buatannya laku dengan nilai Rp35.000. Konsumen yang membeli kerajinan tangan itu memesan lagi sebanyak 100 buah, namun sayangnya karena kesibukan di tempat kerja ia tidak bisa melakukan hal tersebut.
Mulai dari cerita itulah saya tertarik untuk menciptakan peluang bisnis dari limbah tripleks. Rudy mengatakan limbah kayu di perusahaan tempat kerjanya dibuang begitu saja atau dibakar. Limbah ini berupa lembaran-lembaran tripleks yang yang terpotong-potong sehingga tidak memenuhi standar kualitas, ada juga kayu bulat yang panjangnya kurang lebih 1 meter hasil buangan dari mesin rotasi untuk pembuatan lembaran tripleks, sudah tidak bisa lagi masuk ke dalam mesin rotasi.
Wah, terbayangkan berapa jumlah limbah yang terbuang di pabrik tempat kerja Rudy. Tanggal 24 Mei saya dan 5 orang teman yang bertekad memulai usaha kecil berangkat ke Tana Toraja. Kunjungan ke pabrik ini membuka mata kami tentang betapa banyaknya tripleks dan kayu yang dapat kami olah menjadi kerajinan tangan.
Menurut salah seorang karyawan, hanya penduduk sekitar yang memanfaatkan limbah kayu itu untuk dijadikan pagar rumah. Selebihnya terpaksa dibakar.
Di mess karyawan, Rudy mengajak kami melihat berbagai kerajinan yang telah dibuatnya. Hiasan dinding, tempat tisu, tempat ponsel dan berbagai kerajinan lainnya. Menurut dia, karya tersebut dikerjakan sekedar iseng-iseng saja dan hanya dilakukan dalam waktu senggang.
Karya yang dibuat Rudy merupakan hasil yang sangat sederhana, dalam arti perlu polesan untuk disempurnakan. Berbekal hasil survai di Tana Toraja ini, kami sekarang sedang merintis pembuatan berbagai kerajinan tangan dari limbah kayu. Tripleks dan potongan kayu dari pabrik di kabupaten tetangga itu, akan kami manfaatkan untuk memulai usaha mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar