Krisis Emosional di Balik Revolusi
Boleh dikatakan, tahun 2011/1432 ini adalah tahun revolusi berdarah. Kita telah menyaksikan perjalanan revolusi satu demi satu dari beberapa negara Timteng. Mulai dari Januari 2011, hampir sebagian besar negara Arab bergejolak. Ada Tunisia, Mesir, Libya, Syiria, dan Yaman. Tiga bangsa revolusi pertama berhasil “merdeka” dari kungkungan rezim otoriter dan dua negara terakhir sampai sekarang masih berjuang, entah sampai kapan.
Di tengah sorak-sorak revolusi sepanjang tahun ini, sebenarnya ada yang risih dan sangat menggelisahkan. Sudah berapa jiwakah yang jatuh sebagai korban revolusi? Awal revolusi bergejolak selama sepuluh hari di Tunisia dengan rezim Ben Ali (32 tahun bertahta), menelan korban 78 jiwa rakyat sipil. Menyusul goyangan revolusi Mesir selama tujuh belas hari, memakan 297 rakyat anti Mubarak (berkuasa 30 tahun). Belum rakyat Libya yang baru membunuh presidennya dengan bangga, Anda tahu berapa korban? 25.000 jiwa rakyat Libya melayang! Syiria yang belum goal justru lebih banyak lagi, 30.000 jiwa tewas. Dan Yaman? Ah, pembaca musti lebih tahu dari penulis.
Bisa dipastikan, hampir semua korban di atas adalah saudara-saudara kita se-iman, kaum Islam-umat Nabi Muhammad. Dan semua pemimpin yang mereka turunkan juga sama, Muslim-muslim. Bedanya ribuan korban Muslim tersebut dengan kita hanya sebatas warga negara.
Dan mungkin perbedaan kecil inilah yang menyebabkan kekuatan emosional kita kurang sensitif. Kita hanya sedih sambil menggigit jari “semenit” saat menyimak. Dan tanpa sebuah kekhawatiran seolah kita sudah menutup hati dari sabda Nabi Muhammad, “Siapa yang tak peduli terhadap urusan umat-ku, maka ia tak termasuk golongan-ku!”. Kita telah terlanjur menempatkan para korban revolusi tersebut sebagai “mereka”, bukan lagi bagian dari “kami” ataupun “kita”. Benarkan? Nampaknya, umat Islam kini terjangkit sindrom krisis emosional yang begitu akut.
Makna Konteks Ibadah Haji
Di tengah kondisi serba krisis seperti ini, rasanya kita butuh sebuah spirit baru, sebuah momentum yang mampu membangkitkan kembali kekuatan emosional kita sebagai saudara se-Islam. Dengan keluasan ilmu-Nya, Allah menempatkan bulan haji di akhir tahun Hijriyah. Dengan menghadirkan berbagai fenomena sepanjang bulan-bulan sebelumnya, kita akan menemukan nuansa baru di bulan Dzul Hijjah, bulan di mana jutaan umat Islam melakukan ritual kental akan nilai-nilai sosiologis-humanis yang begitu tinggi, mendalam, dan padat: mereka tangah beribadah haji.
Saat awal revolusi bergulir hingga kini, penulis sempat pesimistis dengan keputusasaan, sampai kapan kita sebagai umat Islam sejagad bercerai berai seolah tanpa ada ikatan yang menyatukan? Baik dari rakyat maupun pebajat –terlebih bagian Arab, mungkin-, pastilah sama-sama mengucapkan syahadat, setiap hari malaksanakan salat, membayar zakat. Mengapa tetap saja tak berdamai (Islam = damai)? Mungkin, sempat penulis memprediksi menjelang bulan puasa, perdamaian akan segera tiba saat bulan suci menyapa revolusi kaum Muslim ini. Ah, saat berpuasa dan seusainya pun ternyata tetap saja tak berdamai. Para pemimpin Negara yang notabene Muslim tak juga tersadarkan dengan empat rukun Islam hingga menjadikan rakyat “gila”. Revolusi semakin semu dan nafasnya masih menggelegar hingga detik ini. Sampai kapan?
Sedikit merenung dengan rasa kecewa sambil penuh intropeksi diri. Dan harapan damai-solidaritas antar Muslimin itu muncul kembali menjelang ibadah manasik haji ini. Yah, mungkin perdamaian itu akan tiba saat kita, termasuk para pemimpin, sebagai Muslim benar-benar menghayati secara riil dimensi-dimensi dari ibadah haji.
Dalam Islam, ibadah haji mengandung dua demensi. Pertama, demensi spiritual-transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah. Demi memenuhi panggilan Allah Swt ini, kita harus rela mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa. Dan dalam Haji, kita melakukan aktivitas-aktivitas yang boleh dikatakan aneh, tak bisa dicerna logika kita seperti melempar batu, keliling ka’bah tujuh kali, bolak-balik jogging antara bukit Shafa dan Marwa, dan masih banyak lagi. Dengan segala pengorbanan dan aktivitas-aktivitas semacam inilah, kehambaan dan keimanan kita akan semakin tampak dan teruji karena tidak mungkin kita bersedia melaksanakan hal-hal seperti ini dengan tulus selama akal dijadikan ‘hakim nomor wahid’ dengan mengesampingkan ajaran Ilahy. Nabi Muhammad pun mengakui Ibadah Haji bukan sesuatu yang rasional. Beliau bersabda, “Labbaik Bihajjah Haqqon Ta’abbudan wa Riqqon”.
Kedua, demensi sosiologis-humanis yang nampak dalam acara-acara ritual atau dalam tuntutan nonritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dan dalam bentuk real atau simbolik. Namun, demensi ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui ibadah manasik haji dalam bingkai niat karena Allah, mampu mengaplikasikan solidaritas sosial.
Dalam konteks sosiologis-humanis tersebut, misalnya, tulis Ali Syariati, ihram dipandang sebagai ritual yang mendidik manusia agar meninggalkan seluruh 'pakaian' yang pantas ditanggalkan, yang hina di mata Tuhan; kesombongan, hedonisme, dll, serta menggantinya dengan 'pakaian' putih dan suci; kerendahan hati, kesederhanaan, dll. Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus dihindari oleh pelaku ibadah haji.
Dilarang membunuh, Jangan menumpahkan darah, tidak boleh mencabuti pepohonan. Mengapa? Karena manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya. Berkumpulnya para jamaah di satu tempat memberi kesan bahwa ibadah haji sebagai media “ibadah sosial”, yakni terbangunnya relasi sosial yang kokoh dilandasi sikap saling mengenal, mengasihi dan menyanyangi di antara sesama manusia. Dan masih banyak lagi nilai-nilai sosiaologis-humanis dari spirit ibadah haji itu sendiri.
Dengan demikian, momentum haji tahun ini nampaknya memang menuntut kita untuk benar-benar berhaji. Artinya beribadah apa pun, bukan sekedar memenuhi panggilan Syariat, melainkan karena memang kondisi riil umat Islam kita yang kini dihadapkan pada cobaan yang cukup memprihatinkan, menumpahkan jutaan darah Muslim. Kalau hanya saklek pada format manasik dalam ibadah haji di saat-saat banyak korban jiwa seperti saat ini, menjadi sangat muspro (tidak berguna) dan terjebak dalam perbuatan israf (berlebih-lebihan, mengingat baiya haji begitu melangit) yang tidak dikehendaki Syariat Islam. Ini pun tidak relevan adanya pensyariatan (maqashidus syari'ah) ibadah haji, yakni mengartikulasikan nilai-nilai spiritual-transendental dan sosiologis-humanis itu sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian pemaknaan haji akan lebih relevan dan applicable bilamana tertuju dalam format sesuai dengan menghadirkan berbagai fenomena riil sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan kita. Inilah makna kontekstual ibadah haji sebenarnya. Semoga spirit manasik haji di tahun revolusi ini mampu kita jadikan sebagai semacam savior (juru selamat) dalam penyadaran kita akan kepedulian kita pada lingkungan sosial-politik umat Islam kini. Wallahu A'lam Bishshowab.
Muhammad Roby Ulfi Zt
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, al-Ahgaff University di Hadhramaut-Yaman. Sekarang sebagai Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Indonesia di Yaman (PPI Yaman) 2011-2012
(//mbs)
Boleh dikatakan, tahun 2011/1432 ini adalah tahun revolusi berdarah. Kita telah menyaksikan perjalanan revolusi satu demi satu dari beberapa negara Timteng. Mulai dari Januari 2011, hampir sebagian besar negara Arab bergejolak. Ada Tunisia, Mesir, Libya, Syiria, dan Yaman. Tiga bangsa revolusi pertama berhasil “merdeka” dari kungkungan rezim otoriter dan dua negara terakhir sampai sekarang masih berjuang, entah sampai kapan.
Di tengah sorak-sorak revolusi sepanjang tahun ini, sebenarnya ada yang risih dan sangat menggelisahkan. Sudah berapa jiwakah yang jatuh sebagai korban revolusi? Awal revolusi bergejolak selama sepuluh hari di Tunisia dengan rezim Ben Ali (32 tahun bertahta), menelan korban 78 jiwa rakyat sipil. Menyusul goyangan revolusi Mesir selama tujuh belas hari, memakan 297 rakyat anti Mubarak (berkuasa 30 tahun). Belum rakyat Libya yang baru membunuh presidennya dengan bangga, Anda tahu berapa korban? 25.000 jiwa rakyat Libya melayang! Syiria yang belum goal justru lebih banyak lagi, 30.000 jiwa tewas. Dan Yaman? Ah, pembaca musti lebih tahu dari penulis.
Bisa dipastikan, hampir semua korban di atas adalah saudara-saudara kita se-iman, kaum Islam-umat Nabi Muhammad. Dan semua pemimpin yang mereka turunkan juga sama, Muslim-muslim. Bedanya ribuan korban Muslim tersebut dengan kita hanya sebatas warga negara.
Dan mungkin perbedaan kecil inilah yang menyebabkan kekuatan emosional kita kurang sensitif. Kita hanya sedih sambil menggigit jari “semenit” saat menyimak. Dan tanpa sebuah kekhawatiran seolah kita sudah menutup hati dari sabda Nabi Muhammad, “Siapa yang tak peduli terhadap urusan umat-ku, maka ia tak termasuk golongan-ku!”. Kita telah terlanjur menempatkan para korban revolusi tersebut sebagai “mereka”, bukan lagi bagian dari “kami” ataupun “kita”. Benarkan? Nampaknya, umat Islam kini terjangkit sindrom krisis emosional yang begitu akut.
Makna Konteks Ibadah Haji
Di tengah kondisi serba krisis seperti ini, rasanya kita butuh sebuah spirit baru, sebuah momentum yang mampu membangkitkan kembali kekuatan emosional kita sebagai saudara se-Islam. Dengan keluasan ilmu-Nya, Allah menempatkan bulan haji di akhir tahun Hijriyah. Dengan menghadirkan berbagai fenomena sepanjang bulan-bulan sebelumnya, kita akan menemukan nuansa baru di bulan Dzul Hijjah, bulan di mana jutaan umat Islam melakukan ritual kental akan nilai-nilai sosiologis-humanis yang begitu tinggi, mendalam, dan padat: mereka tangah beribadah haji.
Saat awal revolusi bergulir hingga kini, penulis sempat pesimistis dengan keputusasaan, sampai kapan kita sebagai umat Islam sejagad bercerai berai seolah tanpa ada ikatan yang menyatukan? Baik dari rakyat maupun pebajat –terlebih bagian Arab, mungkin-, pastilah sama-sama mengucapkan syahadat, setiap hari malaksanakan salat, membayar zakat. Mengapa tetap saja tak berdamai (Islam = damai)? Mungkin, sempat penulis memprediksi menjelang bulan puasa, perdamaian akan segera tiba saat bulan suci menyapa revolusi kaum Muslim ini. Ah, saat berpuasa dan seusainya pun ternyata tetap saja tak berdamai. Para pemimpin Negara yang notabene Muslim tak juga tersadarkan dengan empat rukun Islam hingga menjadikan rakyat “gila”. Revolusi semakin semu dan nafasnya masih menggelegar hingga detik ini. Sampai kapan?
Sedikit merenung dengan rasa kecewa sambil penuh intropeksi diri. Dan harapan damai-solidaritas antar Muslimin itu muncul kembali menjelang ibadah manasik haji ini. Yah, mungkin perdamaian itu akan tiba saat kita, termasuk para pemimpin, sebagai Muslim benar-benar menghayati secara riil dimensi-dimensi dari ibadah haji.
Dalam Islam, ibadah haji mengandung dua demensi. Pertama, demensi spiritual-transendental sebagai konskuensi dari kepatuhan kepada Allah. Demi memenuhi panggilan Allah Swt ini, kita harus rela mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa. Dan dalam Haji, kita melakukan aktivitas-aktivitas yang boleh dikatakan aneh, tak bisa dicerna logika kita seperti melempar batu, keliling ka’bah tujuh kali, bolak-balik jogging antara bukit Shafa dan Marwa, dan masih banyak lagi. Dengan segala pengorbanan dan aktivitas-aktivitas semacam inilah, kehambaan dan keimanan kita akan semakin tampak dan teruji karena tidak mungkin kita bersedia melaksanakan hal-hal seperti ini dengan tulus selama akal dijadikan ‘hakim nomor wahid’ dengan mengesampingkan ajaran Ilahy. Nabi Muhammad pun mengakui Ibadah Haji bukan sesuatu yang rasional. Beliau bersabda, “Labbaik Bihajjah Haqqon Ta’abbudan wa Riqqon”.
Kedua, demensi sosiologis-humanis yang nampak dalam acara-acara ritual atau dalam tuntutan nonritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dan dalam bentuk real atau simbolik. Namun, demensi ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Artinya melalui ibadah manasik haji dalam bingkai niat karena Allah, mampu mengaplikasikan solidaritas sosial.
Dalam konteks sosiologis-humanis tersebut, misalnya, tulis Ali Syariati, ihram dipandang sebagai ritual yang mendidik manusia agar meninggalkan seluruh 'pakaian' yang pantas ditanggalkan, yang hina di mata Tuhan; kesombongan, hedonisme, dll, serta menggantinya dengan 'pakaian' putih dan suci; kerendahan hati, kesederhanaan, dll. Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus dihindari oleh pelaku ibadah haji.
Dilarang membunuh, Jangan menumpahkan darah, tidak boleh mencabuti pepohonan. Mengapa? Karena manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya. Berkumpulnya para jamaah di satu tempat memberi kesan bahwa ibadah haji sebagai media “ibadah sosial”, yakni terbangunnya relasi sosial yang kokoh dilandasi sikap saling mengenal, mengasihi dan menyanyangi di antara sesama manusia. Dan masih banyak lagi nilai-nilai sosiaologis-humanis dari spirit ibadah haji itu sendiri.
Dengan demikian, momentum haji tahun ini nampaknya memang menuntut kita untuk benar-benar berhaji. Artinya beribadah apa pun, bukan sekedar memenuhi panggilan Syariat, melainkan karena memang kondisi riil umat Islam kita yang kini dihadapkan pada cobaan yang cukup memprihatinkan, menumpahkan jutaan darah Muslim. Kalau hanya saklek pada format manasik dalam ibadah haji di saat-saat banyak korban jiwa seperti saat ini, menjadi sangat muspro (tidak berguna) dan terjebak dalam perbuatan israf (berlebih-lebihan, mengingat baiya haji begitu melangit) yang tidak dikehendaki Syariat Islam. Ini pun tidak relevan adanya pensyariatan (maqashidus syari'ah) ibadah haji, yakni mengartikulasikan nilai-nilai spiritual-transendental dan sosiologis-humanis itu sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian pemaknaan haji akan lebih relevan dan applicable bilamana tertuju dalam format sesuai dengan menghadirkan berbagai fenomena riil sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan kita. Inilah makna kontekstual ibadah haji sebenarnya. Semoga spirit manasik haji di tahun revolusi ini mampu kita jadikan sebagai semacam savior (juru selamat) dalam penyadaran kita akan kepedulian kita pada lingkungan sosial-politik umat Islam kini. Wallahu A'lam Bishshowab.
Muhammad Roby Ulfi Zt
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, al-Ahgaff University di Hadhramaut-Yaman. Sekarang sebagai Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Indonesia di Yaman (PPI Yaman) 2011-2012
(//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar